Dosa
tak ubahnya seperti tiupan angin di tanah berdebu. Wajah terasa sejuk
sesaat, tapi butiran nodanya mulai melekat. Tanpa terasa, tapi begitu
berbekas. Kalau saja tak ada cermin, orang tak pernah mengira kalau ia
sudah berubah.
Perjalanan hidup memang penuh debu. Sedikit,
tapi terus dan pasti; butiran-butiran debu dosa kian bertumpuk dalam
diri. Masalahnya, seberapa peka hati menangkap itu. Karena boleh jadi,
mata kepekaan pun telah tersumbat dalam gundukan butiran debu dosa yang
mulai menggunung.
Seorang mukmin saleh mungkin tak akan
terpikir akan melakukan dosa besar. Karena hatinya sudah tercelup dengan
warna Islam yang teramat pekat. Jangankan terpikir, mendengar sebutan
salah satu dosa besar saja, tubuhnya langsung merinding. Dan lidah pun
berucap, ''Na’udzubillah min dzalik!''
Namun, tidak begitu
dengan dosa-dosa kecil. Karena sedemikian kecilnya, dosa seperti itu
menjadi tidak terasa. Terlebih ketika lingkungan yang redup dengan
cahaya Ilahi ikut memberikan andil. Dosa menjadi biasa.
Rasulullah bersabda, ''Jauhilah dosa-dosa kecil, karena jika ia
terkumpul pada diri seseorang, lambat laun akan menjadi biasa.''
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah mewanti para sahabat agar
berhati-hati dengan sebuah kebiasaan. Karena boleh jadi, sesuatu yang
dianggap ringan, punya dampak besar buat pembentukan hati.
Dari
Anas Ibnu Malik berkata, '' Rasulullah menyampaikan sesuatu di hadapan
para sahabatnya. Beliau Shallallahu alaihi wasallam berkata: ''Telah
diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, maka aku belum pernah melihat
kebaikan dan keburukan seperti pada hari ini. Jika kalian mengetahui apa
yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.' Anas berkata, ''Tidak pernah datang kepada sahabat Rasulullah
suatu hari yang lebih berat kecuali hari itu.'' Berkata lagi Anas,
''Para sahabat Rasulullah menundukkan kepala-kepala mereka dan terdengar
suara tangisan mereka.'' (Bukhari & Muslim).
Pertama,
Sekecil apa pun dosa, terlebih ketika menjadi biasa, punya dampak
tersendiri dalam hati, pikiran, dan kemudian perilaku seseorang.
Repotnya, ketika si pelaku tidak menyadari. Justru orang lain yang lebih
dulu menangkap ketidaknormalan itu.
Di antara dampak dosa yang
kadang remeh dan tidak terasa adalah sebagai berikut: pertama,
melemahnya hati dan tekad. Kelemahan ini ketika tanpa sadar, seseorang
tidak lagi bergairah menunaikan ibadah sunah. Semuanya tinggal yang
wajib. Nilai-nilai tambah ibadah menjadi hilang begitu saja. Tiba-tiba,
ia menjadi enggan beristighfar. Sementara, hasrat untuk melakukan
kemaksiatan mulai menguat.
Kedua, seseorang akan terus
melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh
dosa tersebut. Padahal, dosa yang dianggap remeh itu adalah besar di
sisi Allah ta’ala.
Di antara bentuk itu adalah ucapan-ucapan
dusta. Awalnya mungkin hanya sekadar canda agar orang lain bisa tertawa.
Tapi, ucapan tanpa makna itu akhirnya menjadi biasa. Padahal di antara
ciri seorang mukmin selalu menghindar dari perbuatan laghwi, tanpa
makna. Allah berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS.
23: 1-3).
Seorang sahabat Rasul, Ibnu Mas’ud, pernah
memberikan perbandingan antara seorang mukmin dan fajir. Terutama,
tentang cara mereka menilai sebuah dosa. Beliau r.a. berkata,
''Sesungguhnya seorang mukmin ketika melihat dosanya seakan-akan ia
berada di pinggir gunung. Ia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan
seorang yang fajir tatkala melihat dosanya, seperti memandang seekor
lalat yang hinggap di hidungnya, lalu membiarkannya terbang.” (HR.
Bukhari).
Ketiga, dosa dan maksiat akan melenyapkan rasa malu.
Padahal, malu merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala
kebaikan. Jika rasa malu hilang, maka lenyaplah kebaikan. Nabi saw.
bersabda, “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Keempat, sulitnya menyerap ilmu keislaman. Ini karena dosa mengeruhkan
cahaya hati. Padahal, ilmu keislaman merupakan pertemuan antara cahaya
hidayah Allah swt. dengan kejernihan hati.
Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i pernah menuturkan pengalaman pribadinya. Ketika itu, ulama
yang biasa disebut Imam Syafi’i ini merasakan adanya penurunan kemampuan
menghafal. Ia pun mengadukan hal itu ke seorang gurunya yang bernama
Waqi’. Penuturan itu ia tulis dalam bentuk untaian kalimat yang begitu
puitis.
Aku mengadukan buruknya hafalanku kepada Waqi'
Beliau memintaku untuk membersihkan diri dari segala dosa dan maksiat.
Beliau pun mengajarkanku bahwa ilmu itu cahaya.
Dan cahaya Allah tidak akan pernah menembus pada hati yang pendosa.
Ada satu dampak lagi yang cukup memprihatinkan. Seseorang yang hatinya
berserakan debu dosa enggan bertemu sapa dengan sesama mukmin. Karena
magnit cinta dengan sesama ikhwah mulai redup, melemah. Sementara,
kecenderungan bergaul dengan lingkungan tanpa nilai justru menguat. Ada
pemberontakan terselubung. Berontak untuk bebas nilai.
Perjalanan hidup memang bukan jalan lurus tanpa terpaan debu. Kian cepat
kita berjalan, semakin keras butiran debu menerpa. Berhati-hatilah,
karena sekecil apa pun debu, ia bisa mengurangi kemampuan melihat.
Sehingga tidak lagi jelas, mana nikmat; mana maksiat.
0 Response to "DIRI TAK LUPUT DARI DEBU DOSA"
Post a Comment