Mengenal lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing.
Padahal kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang ditampakkan pada saat pacaran.
Rasa takut yang besar untuk ditinggal pasangannya atau hendak
mengambil hati pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang
terdapat dalam dirinya.
Sudah menjadi rahasia umum, jika usia
pacaran yang lama tak menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk
memuluskan hubungan menuju jenjang pernikahan.
Sudah tak menjamin
adanya pernikahan setelah sekian lama menjalin masa pacaran, juga banyak
dibumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah.
Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan Suami Istri.
Si Pria seolah menjadi hak milik wanita dan Si Wanita kepunyaan pribadi Si Pria.
Merekapun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka.
Yang terparah adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan
hubungan Suami Istri dengan Sang Pacar yang notabene bukan mahram.
Padahal pengesahan hubungan berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa
disebut “nembak”, misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?”
dan diterima dengan ucapan “I Love You too, aku mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu.
Tanpa adanya perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta.
Tanpa adanya akad yang menghalalkan hubungan tersebut.
Hubungan pacaran tak ada pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah.
Karena tak ada yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan hubungan tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran.
Melakukan apapun guna menyenangkan hati Sang Kekasih (yang belum
halal) meskipun hati kita menolak. Jungkir balik kita mempermainkan
hati.
Hingga suka dan sedih karena cinta, cinta terlarang.
Hati dan otak dipenuhi hanya dengan masalah cinta. Kita menangis karena
cinta, kita tertawa karena cinta, kita meraung-meraung ditinggal cinta,
kita pun mengemis cinta.
Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya.
Tapi sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang semu adalah kesia-siaan.
Kita berkorban mengatasnamakan cinta semu.
Seorang pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati orangtua.
Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan Sang Pacar dibanding menemani orangtua.
Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak dibanding orangtuanya sendiri.
Seseorang akan rela menyenangkan hati pacarnya untuk dibelikan sesuatu
yang disuka dibandingkan memberikan kejutan untuk seorang Ibu yang
melahirkannya.
Seseorang akan lebih menurut pada perintah Sang Pacar dibanding orangtuanya.
Hubungan yang baru terjalin bisa menggantikan hubungan lahiriyah dan bathiniyah seorang anak dengan orangtua.
Jikapun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial untuk dipersembahkan pada pasangannya.
Sebuah rasa yang seharusnya diperuntukkan untuk pasangannya karena telah diumbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa.
Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang diinginkan pada masa berpacaran.
Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada waktunya maka ikrar
suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral dan mudah
dipermainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba hubungan
pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS” maka kebanyakan
akan menjadi sebuah permusuhan.
Apalagi jika disebabkan hal yang kurang baik misalnya perselingkuhan.
Kembali hati yang menanggung akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama.
Hati yang terlanjur memendam benci.
Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati dikarenakan cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan psikis.
Juga ada beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah kenyataannya, hati adalah suatu organ yang sensitif.
Bisa naik secara drastis, tak jarang bisa jatuh langsung menghantam ke bumi.
Apa yang dirasakan hati akan terlihat pada sikap dan prilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal baik.
Ada orang bilang, jangan pernah bermain dengan hati.
Karena dari mata turun ke hati, kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam hati.
Jika rasa itu baik dan ditujukan pada seseorang yang halal (Suami atau
Istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriyah. Bukan sebuah
melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran?
Karena ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah?
Tak selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya.
Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara
fisik Sang Pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia
yang akan merasa bosan jika selalu dicecoki dengan berbagai keluhan.
Malu dibilang jomblo?
Jika dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus malu?
Justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena sadar
hati kita hanya patut ditujukan kepadaNya bukan yang lain.
Justru kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal terlarang tapi kita menjauhinya.
Kemudian tak akan ada perasaan was-was karena telah melanggar aturan
Allah. Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada kekangan dari
orang yang sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran.
Dan sesungguhnya belum tentu Sang Pacar akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman beralkohol, banyak yang mengelak bahwa dengan
berpacaran mereka memiliki semangat baru dan sederet hal positif yang
mereka kumandangkan.
Tapi sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang didapat jauh lebih kecil dibanding kemudharatan yang dihasilkan.
Karena segala sesuatu yang dilarang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain.
Tidak merugikan orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk
diikuti ketimbang menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang
kebinasaan.
Kembali ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika diawali dengan keburukan.
Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah tetapkan di Lauh
Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang Allah ridhoi.
Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhoan Allah dan mendapat keberkahanNya. Aamiin.
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara seimanku)
Allahua’lam..
Sember :Majalah Qiblati - Menyatukan Hati Dalam Sunnah Nabi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Masih Haruskah Berpacaran? "
Post a Comment